Rabu, 30 Desember 2015

Miracle Married

Miracle Married

“Kak, ini sudah yang ketiga kalinya kamu datang ke Indonesia untuk meminta restu ke orang tuaku dan jawaban mereka pun masih sama. Apakah kamu akan menyerah dan memutuskan hubungan kita?” tanyaku ke Kak Li Chen. Aku dan dia sedang duduk dikursi ruang tamu rumahku, berhadap-hadapan. Aku dan Dia sudah menjadi kekasih selama 2 tahun. Pabrik, di sanalah aku pertama kali berjumpa dan berkenalan dengannya. Selama berpacaran, Dia juga menghargai privasiku. Karena perbedaan agama, negara, kebiasaan dan terlebih karena Aku adalah anak tunggal,  orang tuaku masih berat untuk memberikan restu. Berbeda dengan orang tua dan keluarganya Kak Li Chen, mereka sudah merestui.

“Aku tidak akan menyerah. Dan kamu tahu itu, Ratih. Pelan-pelan mereka pasti akan mau merestui kita. Bersabarlah.” Dia tersenyum ke arahku.

“Tapi, Kak… Aku takut kalau terlalu lama bersabar, ujungnya kamu malah menyerah. Aku takut akan hal itu, Kak.” Tanganku meremas ujung kaos yang kupakai karena cemas.

“Aku sudah memikirkan hal ini selama 6 bulan lebih. Dan, Aku memutuskan untuk menjadi mualaf mungkin dengan begitu orang tuamu bisa menerimaku, dan memberikan restu untuk kita menikah.”

“Kak, kamu sudah berpikir matang-matang? Ini bukan karena terpaksa kan?”

“Tidak, ini sudah menjadi pilihanku. Tidak ada pemaksaan sama sekali.”

“Alhamdulillah.”

“Diminum dulu, Kak, tehnya.”

“Terima kasih.”

“Kak, kamu nanti langsung pulang? Tidak menginap di hotel dekat rumahku?” selama berhubungan pun kita tidak pernah melewati batasan-batasan.
Dia menggeleng, “Tidak, Ratih. Jam 2 siang pesawatku take on.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Kamu tidak capek, Kak?”

Dia menggeleng lalu tersenyum, “Tidak. Apapun demi memilikimu, Ratih.”
Setelah meminum habis teh yang aku buat, Kak  Li Chen pamit ke bandara, Dia kembali lagi ke Taiwan. Berat hati, tentu saja. Namun Aku tidak mungkin menahannya karena kita belum resmi dan Dia pun memiliki tanggungan pekerjaan.

“Hati-hati di jalan, Kak.”

“Terima kasih. Kamu harus jaga kesehatan, ok.” Pesannya, Aku mengangguk.


*****

Aku menceritakan niat baik Kak Li Chen ke orang tuaku bahwa Dia memutuskan untuk menjadi mualaf. Orang tuaku pun menanggapi dengan senang. Seiring berjalannya waktu serta kegigihannya, akhirnya orang tuaku memberi restu. Aku dan Kak  Li Chen pun menikah.

Kak  Li Chen pulang ke Taiwan lebih dulu, selang 6 bulan setelah visa dan surat-surat yang aku perlukan  selesai, Aku pun terbang menyusulnya. Hingga saat ini Aku sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 3,5 tahun yang sangat mirip dengannya. Ibu mertuaku bilang, anakku adalah Kak Li Chen versi mini.
Aku menemani anakku menonton CiHu di komputer. Acara kesukaan anakku, ketika Kak  Li Chen datang menghampiriku, “Mau pergi ke pasar malam?”
Kebetulan malam minggu dan di dekat rumahku ada pasar malam. Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki.

“Boleh.” Jawabku.

Kak Li Chen segera mengangkat tubuh anakku lalu digendongnya. Dia menciumi pipi anakku berkali-kali, membuat anakku tertawa karena merasa geli. Aku tersenyum melihat pemandangan itu, “Tuhan, terima kasih. Aku bahagia dengan keluarga kecilku. God, you know? They say it's a miracle married and I believe that.” ucapku dalam hati.


End





Tidak ada komentar:

Posting Komentar