Rabu, 30 Desember 2015

Miracle Married

Miracle Married

“Kak, ini sudah yang ketiga kalinya kamu datang ke Indonesia untuk meminta restu ke orang tuaku dan jawaban mereka pun masih sama. Apakah kamu akan menyerah dan memutuskan hubungan kita?” tanyaku ke Kak Li Chen. Aku dan dia sedang duduk dikursi ruang tamu rumahku, berhadap-hadapan. Aku dan Dia sudah menjadi kekasih selama 2 tahun. Pabrik, di sanalah aku pertama kali berjumpa dan berkenalan dengannya. Selama berpacaran, Dia juga menghargai privasiku. Karena perbedaan agama, negara, kebiasaan dan terlebih karena Aku adalah anak tunggal,  orang tuaku masih berat untuk memberikan restu. Berbeda dengan orang tua dan keluarganya Kak Li Chen, mereka sudah merestui.

“Aku tidak akan menyerah. Dan kamu tahu itu, Ratih. Pelan-pelan mereka pasti akan mau merestui kita. Bersabarlah.” Dia tersenyum ke arahku.

“Tapi, Kak… Aku takut kalau terlalu lama bersabar, ujungnya kamu malah menyerah. Aku takut akan hal itu, Kak.” Tanganku meremas ujung kaos yang kupakai karena cemas.

“Aku sudah memikirkan hal ini selama 6 bulan lebih. Dan, Aku memutuskan untuk menjadi mualaf mungkin dengan begitu orang tuamu bisa menerimaku, dan memberikan restu untuk kita menikah.”

“Kak, kamu sudah berpikir matang-matang? Ini bukan karena terpaksa kan?”

“Tidak, ini sudah menjadi pilihanku. Tidak ada pemaksaan sama sekali.”

“Alhamdulillah.”

“Diminum dulu, Kak, tehnya.”

“Terima kasih.”

“Kak, kamu nanti langsung pulang? Tidak menginap di hotel dekat rumahku?” selama berhubungan pun kita tidak pernah melewati batasan-batasan.
Dia menggeleng, “Tidak, Ratih. Jam 2 siang pesawatku take on.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Kamu tidak capek, Kak?”

Dia menggeleng lalu tersenyum, “Tidak. Apapun demi memilikimu, Ratih.”
Setelah meminum habis teh yang aku buat, Kak  Li Chen pamit ke bandara, Dia kembali lagi ke Taiwan. Berat hati, tentu saja. Namun Aku tidak mungkin menahannya karena kita belum resmi dan Dia pun memiliki tanggungan pekerjaan.

“Hati-hati di jalan, Kak.”

“Terima kasih. Kamu harus jaga kesehatan, ok.” Pesannya, Aku mengangguk.


*****

Aku menceritakan niat baik Kak Li Chen ke orang tuaku bahwa Dia memutuskan untuk menjadi mualaf. Orang tuaku pun menanggapi dengan senang. Seiring berjalannya waktu serta kegigihannya, akhirnya orang tuaku memberi restu. Aku dan Kak  Li Chen pun menikah.

Kak  Li Chen pulang ke Taiwan lebih dulu, selang 6 bulan setelah visa dan surat-surat yang aku perlukan  selesai, Aku pun terbang menyusulnya. Hingga saat ini Aku sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 3,5 tahun yang sangat mirip dengannya. Ibu mertuaku bilang, anakku adalah Kak Li Chen versi mini.
Aku menemani anakku menonton CiHu di komputer. Acara kesukaan anakku, ketika Kak  Li Chen datang menghampiriku, “Mau pergi ke pasar malam?”
Kebetulan malam minggu dan di dekat rumahku ada pasar malam. Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki.

“Boleh.” Jawabku.

Kak Li Chen segera mengangkat tubuh anakku lalu digendongnya. Dia menciumi pipi anakku berkali-kali, membuat anakku tertawa karena merasa geli. Aku tersenyum melihat pemandangan itu, “Tuhan, terima kasih. Aku bahagia dengan keluarga kecilku. God, you know? They say it's a miracle married and I believe that.” ucapku dalam hati.


End





Senin, 14 Desember 2015

Short story

Huh, Astaga (Agnez-Devin)



*****


"Nes, mana cowokmu? Katanya mau nunjukkin, kok kita duduk mulu dari tadi." omel Ara, pimpinan geng cantik di sekolah yang sedang duduk cantik di sebelah Agnes.

"Yuhuiii... Udah setengah jam kita nunggu, sampe berakar pinak, yang ada cowokmu belum datang juga." sahut Amber, anggota geng cantik yang lainnya.

"Hooh, sebenarnya kamu itu sudah punya cowok belum sih, Nes? Atau jangan-jangan kamunya lagi bohong ya? Ngaku-ngaku punya cowok aslinya mah nggak. Takut kalah gitu!" sahut si Amey, salah satu anggota geng cantik yang lainnya lagi.

"Fix, 10 menit lagi kamu nggak nunjukkin batang hidung cowokmu, berarti kamu harus bersiap menjadi pesuruh geng cantik selama sebulan." sambil kipas-kipas alay menggunakan tangannya.

"Yaelah, baru juga setengah jam. Perjanjian kita kan satu jam." ucap Agnes tidak terima dengan perjanjian awal mereka. Dengan dongkol Agnes langsung meminum jus orangenya dengan sekali teguk.

"Busyet, kamu haus atau kekeringan? Nggak elit banget deh gaya minummu!" Ara memprotes sikap Agnes.

"Terserah aku juga kali, yang minum aku, yang bayar minuman ini aku dan yang dipake buat minum juga mulut aku sendiri. Mending nggak usah cerewet, nggak capek apa itu mulut ngedumel mulu dari tadi. Bikin telingaku panas tahu nggak sih?"

"Kamu!" Ara mengacungkan garpu ke arah Agnes.

"Apa?!"

"Berani sekali ngomong kaya' gitu ke aku. Awas ya!"

"Apa?! Weeksss!" Agnes malah mengejek Ara dengan menjulurkan lidahnya, membuat Ara and the gang sebal.

"Siap-siap ja kamu nanti bakal kalah. Aku yakin kamu nggak punya cowok. Secara kamu itu gadis urakan dan ceplos ceplos kalau ngomong. Yang ada tuh cowok ilfill ma kamu."

"Shit!" umpat Agnes dalam hati. Semua ini gara-gara mulut Agnes sendiri yang ember yang tanpa sengaja mencibir Ara pas lagi berduaan dengan kekasihnya. Alhasil Ara nantangin Agnes untuk nunjukkin cowoknya. Sedang Agnes yang nggak mau harga dirinya terluka mau tak mau menerima tantangan Ara itu. Boro-boro punya pacar, gebetan ja Agnes nggak punya. Dan jika Agnes nggak bisa nunjukkin cowoknya ke Ara and the gang, maka Agnes harus bersiap menjadi pesuruh mereka selama sebulan. Tapi kalau Agnes yang menang, mereka bertiga yang akan menjadi pesuruh Agnes selama sebulan.

"Sabar, bentar lagi juga datang." Agnes mencoba menenangkan mereka bertiga, yang ada di dalam hatinya sendiri sedang berjoget ria karena rasa kalut dan khawatir. Untuk mengurangi kekalutannya itu, kembali Agnes memesan segelas minuman kepada seorang pelayan. "Mbak, saya pesan segelas orange juice lagi."

"10 menit lagi, siap-siap menerima kekalahanmu Nes!"

"Iya."

"Nes, daripada kita nunggu tanpa kepastian, mending kamu telpin cowok kamu itu." usul Ara.

"Shit! Ini cewek centil dapet ja ide buat mojokin aku." dumel Agnes dalam hati. "Bentar, aku lihat dulu. Siapa tahu sudah datang."

Agnes lalu mengedarkan pandangannya, hingga tatapannya jatuh pada meja yang berada tepat di belakangnya. Agnes pun menyeringai, ia mendapatkan sebuah ide. Kembali menatap ke arah Ara and the gang, "Tuh cowokku. Yang duduk di meja tepat di belakang kita."

"Yang mana?" tanya Amber.

"Itu yang pake kaos putih."

"Sumpah?!"

"Iya, udah kan? Kalau gitu aku yang menang. Secara aku udah nunjukkin cowokku ke kalian bertiga." Agnes sudah ingin berdiri dari posisi duduknya, sebelum Ara menahan pergelangan tangannya.

"Beneran itu cowok kamu?" Agnes mengangguk malas, "Yang pakai kaos putih?"

"Iya, kalian nggak lihat apa?! Yang pakai kaos putih kan cuma dia doang."

Ara and the gang mengangguk-anggukkan kepala, "Tak ku kira seleramu itu om-om. Tapi om-om kece sih yang sangat hot."

Agnes menutar kedua bola matanya malas, tapi ia lalu tersadar. "Huh! Om-om? Bukannya yang aku lihat tadi cowok keren yang aku perkirakan masih SMA sama seperti diriku. Dari mana datangnya Om-om?" ucap Agnes membatin.

"Yaelah, malah melamun. Kalau gitu kita samperin ya, Nes." belum juga Agnes bilang iya, mereka bertiga sudah mendatangi meja yang ada tepat di belakang meja mereka.

"Agnes, sini!" panggil Ara yang tidak tahu sikon sebenarnya. "Mampus aku!" ucap Agnes sangat pelan sambil komat-kamit nggak jelas. Agnespun menoleh ke arah mereka dengan senyum sejuta dolar yang sangat dipaksakan. Saat itulah matanya langsung melotot, "What the hell, mana cowok keren yang tadi? Kok berubah jadi Om-om sih? Huwaa... Mana penampilannya seperti itu lagi. Gede banget itu badan." ucapnya membatin.

"Nes, sini!" panggil Amber.

"I... Iya... Tunggu bentar." Agnespun dengan langkah gontai menghampiri mereka. Agnes lalu duduk dikursi kosong yang masih tersedia, dan kursi itu tepat di samping Si Om. "Apa?!" tanya Agnes mengedarkan tatapan ke teman-temannya.

Ara menyeringai, "Om, Agnes bilang si Om itu cowoknya ya?"

"Yank...Memang betulkan yang dibilang Ara. Kalau kamu itu cowokku." ucap Agnes, sambil tangannya meremas tangan si Om. Memberi tanda, agar si Om membantunya.

Si Om memandang Agnes, Agnespun menatap balik si Om dengan tatapan memohon, "Umm... Iya, Agnes itu kekasihku, lebih tepatnya tunanganku." jawab si Om dengan santainya.

Agnes mengerjap-ngerjapkan matanya, "What the hell!" umpat Agnes dalam hati. Entah mengapa hari ini dia sering sekali mengumpat.

"Bener, Nes?"

Agnes tersenyum, mau tak mau Agnes harus mengikuti permainan yang telah ia mulai sedari awal. "Iya." jawab Agnes singkat.

"Kalau gitu kamu cium cowokmu, setelah itu kita percaya dan bakal nepati perjanjian." ucap Amey.

"Oh My God, yang benar saja. Masa aku harus nyium Om-Om ini sih. Pacar bukan, kenal apalagi, boro-boro dah. Tapi nggak banget kalau jadi pesuruh geng cantik. Huwaaa... Mommy... Daddy... Bantu Agnes!" ___ Agnes ngedumel dalam hati sambil melirik kearah si Om tapi si Om pura-pura tidak tahu.

"Kalian bertiga janji ya, kalau aku sudah nyium cowokku kalian langsung pergi."

"Ok, kita janji." ucap mereka bertiga secara bersamaan.

Agnes menarik nafas sebentar, lalu secara perlahan mendekat kearah si Om, "Cup." Agnes memberi kecupan dipipi.

"Yang benar saja Nes, kamu itu tunangannya atau ponakannya sih? Masa cuma pipi doang yang dicium, harusnya itu bibir."

Agnes melotot ke arah mereka bertiga, "Salah kalian nggak bilang. Yang penting aku udah lakuin apa yang kalian suruh. Jadi... Perjanjian tetap perjanjian." bantah Agnes tidak terima.

Tanpa Agnes sadari, perlahan tubuh si Om mendekat lalu mengecup bibir Agnes. Agnes yang kaget sontak berpegangan pada leher si Om supaya tidak jatuh. Membuat Ara and the gang menganga tidak percaya. "Hmmm...." ucap si Om.

Sedang Agnes terengah-engah karena stock oksigen di dalam paru-parunya berkurang. Wajahnya lalu memerah, antara menahan marah dan rasa malu. Ara and the gang berdiri dari posisi duduknya , "Ok, kita mengaku kalah Nes. Sampai ketemu di sekolah." setelah mengucapkan itu, mereka bertiga pun berlalu pergi.

Agnes lalu menatap tajam ke arah si Om, jari telunjuknya diarahkan padanya, "Dengar ya Om, makasih udah bantuin aku. Tapi jangan harap aku bakal maafin Om. Om itu sudah membuat bibirku tidak perawan lagi. Semoga kita tidak bertemu lagi." ucap Agnes lalu berjalan keluar dari restoran tanpa mau menoleh lagi. Sedang si Om malah senyam-senyum dikursinya.



*****



Sambil memasak menu makan malam Agnes bersenandung kecil seperti biasanya. Itu sudah jadi rutinitasnya setiap hari. Jadi ketika kedua orang tuanya pulang, makan malam sudah tersedia di atas meja.

"Non, kelihatannya lagi senang ya?" tanya Bibi.

"Ah, bibi tahu saja. Iya nih, Agnes sedang bahagia. Besok pas di sekolah Agnes punya pesuruh yang bisa di suruh-suruh. Hehehe..."

"Wah... Kok bisa?"

"Rahasia, Bibi mau tahu saja." Bibi pun hanya bisa tersenyum melihat tingkah Agnes. Bibi sudah biasa dengan segala macam sifatnya. Karena bibi sudah bekerja di keluarga Agnes hampir 10 tahun. "Ini Bi, taruh di atas meja makan." menyodorkan sepiring tumis kubis.

"Non, mau masak apalagi?" tanya Bibi sambil berjalan ke arah meja makan untuk menaruh sepiring tumis kubis tadi.

"Ummm... Kayaknya nggak deh Bi. Segitu cukup kok. Kita kan cuma berenam." yang di maksud berenam adalah Daddy, Mommy, Agnes dan 3 pekerja rumahnya.

"Oh, kalau gitu kita beresin dulu dapurnya. Jadi nanti tidak terlalu banyak barang yang kotor."

"Sippo, Bi." balas Agnes sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Tak lama kedua orang tua Agnes pulang, mereka langsung menuju ruang makan. "Malam, Sayang." sapa kedua orang tuanya secara bersamaan.

"Malam Mom, Dad." balas Agnes lalu mencium kedua pipi orang tuanya secara bergantian.

"Hmmm... Baunya harum sekali." ucap Daddy-nya sambil menghirup aroma masakan yang sudah tersaji.

"Aku tahu kalian pasti lapar, tapi cuci tangan dulu." perintah Agnes.

"Iya-iya, Daddy tahu, Sayang."

Mereka pun makan malam sambil mengobrol. Bagi keluarga lain mungkin mengobrol saat sedang makan itu dilarang. Tapi di keluarga Agnes itu sudah biasa. "Bagaimana dengan sekolahmu hari ini , Sayang?"

Agnes menelan makanan yang ada di mulutnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Daddy-nya. "Ada sedikit masalah Dad, tapi selebihnya baik kok. Biasalah sama Ara and the gang."

"Hahaha... Kamu itu dari dulu kok nggak pernah bosan berurusan dengan mereka."

"Nggak tahu juga Dad, pengennya sih juga gitu tapi lihat kelakuan mereka yang sok cantik dan kecentilan bikin Agnes selalu lepas kontrol."

"Oh iya Sayang, kapan Cody balik lagi ke sini?"

"Nggak tahu Mom, mungkin saat dia liburan semester." Cody itu adalah sepupu Agnes. Mereka itu sangat dekat. Mereka berpisah karena Cody harus kuliah dan alasan utamanya adalah karena orang tuanya ingin Cody segera berkecimpung di firma hukum yang didirikan orang tuanya itu.

"Oh."

"Dad, nanti mau ikut Agnes lari keliling kompleks nggak?"

"Ummm... Malam ini Daddy nggak ikut ya. Banyak kerjaan kantor yang harus Daddy selesaikan dengan Mommy-mu."

"Ok, nanti Agnes sendiri juga nggak apa-apa." selesai makan Agnes membantu Bibi membereskan meja makan. Sedang orang tuanya pamit masuk ke dalam kamar.



*****



Agnes lari mengitari kompleks perumahannya. Biasanya sih Daddy-nya yang nemanin. Tapi malam ini Agnes harus berani sendiri.

Agnes merasa haus, kerongkongannya terasa kering kerontang. Ia pun memutuskan untuk membeli sebotol air mineral di sebuah mini market terdekat. Agnes masuk lalu segera mengambil satu botol air mineral yang ada di rak, membawanya menuju kasir kemudian membayar. Sambil menunggu uang kembalian, Agnes membuka tutup botol itu lalu segera neneguk isinya.

Agnes berbalik, memandangi sekitar. "Oh my God!" ucapnya tidak percaya saat melihat kearah depan. Walau sedikit jauh tapi Agnes dengan jelas tahu siapa orang yang ada di depannya. Om-om yang tadi siang ternyata ada di dalam mini market yang sama dengannya. Agnes segera berbalik, tidak ingin si Om mengetahui keberadaannya. "Ini kembaliannya, terima kasih." ucap pelayan itu. Agnes mengangguk, tersenyum.

Kemudian dengan langkah cepat ia segera keluar dari mini market. Agnes terus berjalan cepat tanpa menoleh lagi ke belakang. Di rasa sudah jauh, Agnes menghembuskan nafas lega. "Hampir saja."



*****



(Devin POV)

Tadi siang aku makan dengan Mamaku di restoran langganannya. Tiba-tiba beberapa anak sekolahan mendatangi mejaku. Untungnya Mamaku sedang pergi ke toilet. Kemudian mereka memanggil lagi satu temannya. Badannya kecil tapi dia sangat manis sekali.

Gadis itu juga mendatangi mejaku dan duduk tepat di sebelahku, temannya lalu bertanya apakah benar bahwa aku adalah cowoknya. Sebelum aku menjawab gadis itu berbicara lebih dulu. "Yang... Memang betulkan yang dibilang Ara. Kalau kamu itu cowokku?"

Ia meremas tanganku, matanya menatapku, dan aku tahu dia sedang meminta bantuanku untuk mengikuti permainannya. "Umm... Iya, Agnes itu kekasihku, lebih tepatnya tunanganku." jawabku pada akhirnya, yah walau sedikit aku lebihkan. Aku tahu namanya ya juga gara-gara temannya.

Dan yang paling aku sukai saat temannya menyuruh untuk menciumku. Mungkin karena aku bukan siapa-siapanya terlebih kita belum kenal juga, dia hanya menciumku dipipi.

Dan detik itu juga aku bersyukur pada Tuhan, karena lagi-lagi temannya protes. Mereka bilang kalau aku adalah kekasihnya harusnya Agnes bukan menciumku dipipi tapi dibibir. Maka dengan inisiatifku sendiri_kesempatan kadang tidak datang dua kali_aku mendekatkan tubuhku ke arahnya lalu mengecup bibirnya. Dia yang kaget, refleks berpegangan pada leherku. "Hmmm..." ucapku setelah selesai mengecupnya.

Teman-temannya pun percaya bahwa aku adalah kekasihnya. Mereka pun lalu pergi meninggalkan mejaku.

Agnes menatapku dengan tajam, jari telunjuknya di arahkan ke aku, "Dengar ya Om, makasih udah bantuin aku. Tapi jangan harap aku bakal maafin Om. Om itu sudah membuat bibirku tidak perawan lagi. Semoga kita tidak bertemu lagi." ucapnya lalu berlalu pergi dari hadapanku.

Entahlah, aku tidak sakit hati dengan ucapannya. Malah aku tersenyum, tersenyum karena kehidupanku nggak akan monoton lagi. Ada Agnes yang siap aku ganggu. Karena tadi aku langsung mencari tahu sekolahnya, dari seragam yang ia pakai.

Mungkin aku memang berjodoh dengannya, kenapa aku bilang begitu? Buktinya aku baru saja melihatnya di sebuah mini market. Dia sedang membeli air mineral. Aku memang berpura-pura tidak melihatnya, dan seperti yang aku duga dengan secepat kilat ia melarikan diri. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya itu. Padahal tanpa dia ketahui, aku sudah mencari informasi mengenai dirinya.



*****



(Author POV)

Agnes sudah sampai di kelasnya. Dari tadi berangkat sekolah ia tak berhenti senyam-senyum. Itu karena Agnes sudah tidak sabar ingin mengerjai Ara and the geng.

Setelah menaruh tasnya di atas bangku, Agnes menuju kelas Ara dan antek-anteknya. "Pagi..." sapa Agnes dengan senyum lebarnya.

Sedang Ara, Amber dan Amey yang melihat kedatangan Agnes seketika memberengut kesal. "Pagi..." balas teman-teman yang lain ke Agnes.

Agnes berjalan mendekat ke arah bangku Ara, Amber dan Amey, "Yuhuiii... Kalian bertiga tidak lupakan dengan perjanjiannya?" ucap Agnes tidak mau basa-basi.

"Iya, kita ingat kok."

"Bagus." ucap Agnes sambil menaik turunkan alisnya, "Kalau begitu bantuin aku piket perpus hari ini. Setelah bel istirahat kalian bertiga langsung ke perpus, awas kalau mekarikan diri. Akan aku buat malu kalian."

Agnes melihat ke arah Ara yang ingin protes, "Apa?!"

"Nggak jadi." jawab Ara.

"Kalau gitu aku balik ke kelas, met ketemu nanti ya geng cantik tapi cantik yang di lihat dari puncak pegunungan Alpen." sedang teman-teman lain yang berada di dalam kelas itu ingin tertawa tetapi di tahan. Yang ada mereka malah cekikikan.

"Sialan! Dari pada kamu..."

"Aku apa? Aku sexy gitu Loh!" Agnes lalu melenggang pergi dengan gaya Ara yang kecentilan , seisi kelas pun tak kuat menahan tawa. Membuat Ara and the geng semakin dongkol.

Jam istirahat pun tiba, Agnes pergi ke perpus sekolah lebih dulu. Sementara geng cantik belum ada yang nongol. "5 menit nggak dateng, lihat ja bakal aku tambahin tugas kalian."

"Halo Kak, hari ini bagian mana yang harus di rapiin?" tanya Agnes ke petugas perpus yang lagi magang.

"Halo Nes, oh makasih sudah mau bantuin aku. Bagian yang sebelah kanan ya, banyak buku-buku yang berantakkan dan nggak sesuai kategorinya."

"Ok, Sippo. Sebenarnya sih ada temen yang katanya mau bantuin kita Kak, tapi mereka belum nongol."

"Temen? Nggak salah dengarkan telingaku ini."

"Hehehe... Bukan teman sih... Tapi musuh bebuyutanku yang kalah taruhan. Dan perjanjiannya mereka bakal jadi pesuruhku selama sebulan."

"Pasti geng cantik."

"Yup. Oh iya Kak, bagaimana kencanmu kemarin malam? Itu bibir Kakak mungkin ada lemnya kali ya, ciuman sampe lama banget nggak lepas-lepas."

"Oh my God, jangan bilang kamu lihat kejadian itu."

"Nggak sengaja sih sebetulnya. Tapi cowoknya lumayanlah."

"Huh, cowok kaya' gitu kamu bilang lumayan? Rabun kali ya matamu itu."

"Ya kali mataku rabun, tapi masih bisa bedain warna gelap sama terang."

"Berdebat denganmu memang susah."

"Sorry telat." Ara dan antek-anteknya baru saja tiba.

"Syukur deh kalau gitu. Kalian bantu Kak Bella, aku lapar mau ke kantin. Kak awasi mereka ya, kalau nggak mau bantuin, bilang ke aku nanti." Kak Bella mengangguk.

"Bye... Huwaa... Lapar..." Agnes menepuk-nepuk perutnya yang sudah berbunyi lalu melenggang pergi.

Jam pelajaran telah usai, waktunya untuk pulang. Agnes memasukkan semua perlengkapan sekolahnya ke dalam tas punggung miliknya. Selesai, ia lalu berjalan menuju gerbang. Hari ini ia di antar supir. Entah alasan apa, ia merasa malas untuk membawa motornya.

Agnes berdiri di depan gerbang sambil sesekali melihat ke arah jam tangannya. "Tumben, pak supir telat jemput."ucap Agnes pelan.

Dua orang berpakaian formal datang menghampiri Agnes yang masih sibuk dengan hp-nya. "Non, Anda harus ikut dengan kami." ucap salah satu dari mereka.

Dahi Agnes mengernyit , dia bingung. Karena tidak mengenal salah satupun dari mereka berdua. "Ogah." jawab Agnes.

"Mau tidak mau Non harus ikut bersama kami."

"Memangnya kalian siapa? Berani sekali memaksaku." Agnes menatap tajam ke arah mereka berdua.

"Kami suruhan Tuan Devin, tunangan Non. Jadi Non harus segera ikut kami ke mobil."

"Tunangan? Tunangan dari Jabal Dubai, merasa punya tunangan saja nggak." dumelnya dalam hati. Agnes sudah bersiap untuk kabur. Tapi dua orang itu bisa membaca gerak gerik Agnes yang hendak kabur. Maka dengan isyarat mata, mereka langsung memegangi kedua lengan Agnes dan menariknya menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan.

"Lepas woey...." teriak Agnes, tapi tak di gubris oleh mereka berdua. Kebetulan sekali suasana sekolah sudah sepi. Jadi tidak ada yang memperhatikan. Hanya ada satpam sekolah, tapi dia juga tidak berani menolong karena sudah diancam.

Agnes duduk diapit dua orang yang berpakaian formal tadi. Mobil melaju menuju sebuah gedung perkantoran yang cukup terkenal. "Silahkan turun, Non!" masih dengan kedua lengannya yang di pegangi, mereka berjalan melewati receptionist kemudian masuk ke dalam lift menuju lantai 29.

"Silahkan masuk Non." Agnes sampai di sebuah ruangan bergaya klasik. Sejenak Agnes mengagumi dekorasi ruangan itu dan melupakan kekesalannya. "Ummm... Pintar juga yang memilih dekorasi ini." ucap Agnes dalam hati.

"Silahkan duduk, Non, Tuan Devin sebentar lagi akan menemui Anda." kembali Agnes merasa kesal mendengar nama itu di sebut. Karena Agnes juga tidak tahu Devin itu siapa.

Terdengar pintu ruangan dibuka, menampilkan sosok Devin yang sedang berjalan mendekat dengan senyumannya. "Karena Tuan Devin sudah datang, jadi kami permisi dulu." Devin mengangguk ke arah mereka.

Agnes duduk di atas sofa, kedua kakinya bersila dengan tangannya yang bersedekap, "Kutu kupret! Aku kira siapa, ternyata dirimu Om."

Devin berjalan mendekat ke arah sofa, lalu duduk di sebelah Agnes, "Aku bukan Om mu, aku tunanganmu." sahut Devin dengan santainya.

"Sejak kapan aku jadi tunanganmu?"

"Sejak kemarin."

"Idiih... Ogah... Situ ketuaan." Agnes melengos kearah samping.

"Aku dewasa bukannya tua."

"Huh! Sama ja kali, itu berarti si Om terlalu dewasa. Kita nggak sepadan."

"Siapa yang bilang?"

"Oh God, aku butuh seember air es untuk menyiram kepalaku supaya dingin dan tidak berasap lagi." ucap Agnes dalam hati. "Yaelah Om, yang bilangkan aku, barusan. Situ dengar apa pura-pura nggak denger."

Devin malah tersenyum, "Duduk yang bener. Atau... Mau aku..." tubuh Devin semakin mendekat.

"Astaga naga! Om memang gila ya!" ____ "Daddy.. Mommy... Tolong... Ini Om-om gila akut. Anak kalian satu-satunya yang sexy bin bahenol di mesumin." ucapnya dalam hati.

Devin lagi-lagi tersenyum, dia tidak marah sama sekali dengan ucapan Agnes, "Anggap ja aku gila, gila karena memikirkanmu."

"Aaaaa..." Agnes berteriak sambil memukul kedua pahanya menggunakan kepalan tangannya, "Agnes mau pulang, Om." Agnes bangun dari duduknya, membalikkan badan dan bersiap untuk melangkah. Tapi Devin menahan Agnes dengan melingkarkan lengannya di perut. Lalu menarik tubuh Agnes hingga jatuh di pangkuannya, "Lepas, Om!"

"Ummm..." Devin hanya berdehem, “Sebentar lagi, nanti aku yang antar kamu pulang.”

Kesabaran Agnes sudah habis, "Rasakan ini!" Agnes menginjak kakinya. Saat Devin lengah, Agnes langsung menyambar tas miliknya, dengan langkah cepat ia keluar dari ruangan Devin. Mengerti bila Devin akan menyusul, Agnes sengaja memilih turun menggunakan tangga.

Di sepanjang perjalanan menuruni tangga, Agnes tak henti-hentinya terus mendumel, "Sialan itu Om-Om. Hiks... Hiks..." Agnes sedikit terisak tapi tidak menangis. "Awas ja, kalau ketemu terus dia macem-macem lagi, akan ku patahkan lehernya." ucap Agnes dengan menggebu-gebu. Begitulah Agnes, emosinya cepat berubah dalam hitungan detik.

Devin tadi sempat mengejar Agnes, ingin mengantarnya pulang ke rumah tapi ia kehilangan jejaknya. Alhasil ia kembali masuk ke ruangannya dengan sedikit kesal. Dia sendiri juga kaget, tidak biasanya dia bersikap begitu.

Devin menghela nafas untuk meredakan emosi, "Sampai ketemu besok Agnes sayang." ucap Devin lirih.




*****





Sedang enak-enaknya menikmati makanan di kantin sekolah, tiba-tiba matanya Agnes menangkap sesuatu yang janggal. Ya terjadi kehebohan di sepanjang koridor menuju ke kantin. Dan saat matanya mencermati, ternyata pusat dari kehebohan itu adalah si Om yang sedang berjalan dengan wali kelasnya.

Agnes meninggalkan makanannya yang masih tersisa separuh, lalu menuju kasir untuk membayarnya. Lagi-lagi dengan mengendap-ngendap seperti yang di lakukannya kemarin malam saat berada di mini market, Agnes melarikan diri dari kantin. Ia tidak mau bertatap muka dengan si Om.

Lewat halaman belakang Agnes memutar jalan untuk sampai di kelasnya. "Yeah... Lolos juga." ucap Agnes lirih. Dengan cepat Agnes menuju bangku miliknya kemudian mengambil tas punggungnya.

Tidak mau ketemu si Om, Agnes buru-buru keluar kelas. Ia sedikit berlari menuju belakang sekolah. Melalui pintu belakang Agnes berhasil kabur. Ia kemudian melangkah menuju jalan raya untuk menyetop taksi.

"Taksi..." panggilnya. Sebuah keberuntungan karena Agnes langsung mendapatkan taksi. Ia menyuruh supir untuk mengantarnya pulang ke rumah. "Gila itu Om-Om, bikin hidupku yang damai sentosa seperti surga jadi terganggu, bagai hidup di neraka ujungnya. Itu orang nggak capek apa ya ngejar-ngejar mulu. Aku ja sudah capek melarikan diri. Sialan... Gara-gara dia aku jadi bolos. Aku sumpahin kakinya patah, biar nggak ngejar aku lagi. Aduh kalau doa buruk di kabulin nggak ya sama Tuhan. Aih... Bodoh amat." dumel Agnes dalam hati.




*****



(Devin POV)

Aku ke sekolahnya Agnes, berniat untuk menemuinya. Aku beralasan ke wali kelasnya kalau aku adalah salah satu suruhan ayahnya. Memberitahu kalau Agnes harus segera pulang karena ada urusan keluarga. Untungnya wali kelasnya itu percaya padaku. Ia lalu mengantarku menuju kantin sekolah untuk menemuinya.

Tapi sampai di sana aku harus kecewa, ternyata si Agnes sudah balik ke kelas, itu kata salah satu temannya mungkin. Aku dan wali kelasnya langsung bertolak menuju kelas, namun lagi-lagi aku harus kecewa, dia Agnes gadis manisku sudah melarikan diri. Teman sekelasnya bilang Agnes masuk dengan buru-buru untuk mengambil tasnya.

Aku menghela nafas, setelah pamit ke wali kelasnya, akupun langsung menuju mobil dan balik ke kantor. Aku heran, apa Agnes nggak capek ya terus melarikan diri dariku?




*****



(Author POV)

"Bi, di luar ada siapa sih? Suaranya terdengar hingga ke kamarku." tanya Agnes ke bibi karena dari dalam kamarnya terdengar tawa yang menggema.

"Oh... Itu Non, tamunya Tuan dan Nyonya. Rekan bisnis kaya'nya sih. Tadi Tuan nitip pesan ke Bibi, katanya kalau Non udah selesai di suruh turun ke bawah. Ini Non, air putihnya."

"Oh... Makasih Bi. Agnes nyelesaiin PR dulu, baru nanti ke bawah." bibi mengangguk sebelum pergi dari kamar Agnes.

Agnes menuruni tangga satu persatu. Ketika sudah sampai di tangga paling bawah, Daddy-nya tersenyum penuh arti ke arahnya. Agnes melihat ada seorang tamu, tapi Agnes tidak tahu siapa karena posisi duduknya membelakanginya. "Nah itu dia anak gadisku yang paling manis. Ke sini Nes!" perintah Daddy-nya.

Dengan sedikit ragu-ragu Agnes berjalan mendekat ke sofa di mana kedua orang tuanya duduk. "Nes, kamu kok nggak bilang sih kalau Devin rekan bisnis Daddy-mu ini adalah kekasihmu."_____ "Deg! Jangan bilang.... Jangan bilang..." Agnes menoleh, di situ di sofa Devin menyeringai penuh kemenangan. "Demi langit dan bumi, sekarang...saat ini juga aku ingin menendangnya ke luar dari galaksi bima sakti." Agnes benar-benar kesal , emosinya naik hingga ke ubun-ubun.

"Ummm... Mom..."

"Jangan nyalahin Agnes, dia hanya ingin memberi kejutan untuk kalian." Devin seperti membela Agnes yang notabene malah membuat Agnes semakin meradang.

"Ya sudah, kalau ingin pergi sekarang juga nggak apa-apa. Dari pada nantian, lagian ini sudah jam setengah sepuluh malam. Om sama Tante mau ke ruang kerja dulu karena masih ada kerjaan kantor yang belum selesai tadi." ucap Daddy.

"Hati-hati di jalan." pesan Mommy.

"Makasih Om, Tante." ucap Devin. Daddy dan Mommy-nya Agnes memberi privasi kepada mereka berdua.

"Apa-apain sih, Om. Nggak lucu tahu bercandanya. Terus dari siapa Om tahu alamat rumahku?"

"Aku nggak bercanda kok. Dari orang suruhanku. Ayo kita berangkat, Mama sudah menunggumu di rumah. Tadi habis lembur dari kantor aku langsung ke sini."

"Ogah!"

"Kalau gitu nggak ada pilihan lain." Devin langsung mengangkat tubuh Agnes seperti mengangkat karung beras. Tidak sulit bagi Devin untuk mengangkat tubuh mungil Agnes dengan badannya yang besar itu.

Agnes meronta, tapi Devin memukul bokongnya. Membuat Agnes mengumpat. "Brengsek! Turunkan aku, sialan kau Om!"

Devin tidak peduli dengan umpatan yang Agnes lontarkan. Ia tetap membawanya menuju mobil, mendudukkannya lalu memasangkan seltbelt. Mobilpun melaju membelah keramaian.

"Sudah sampai, turun!" perintah Devin. Mendapati Agnes yang tidak lekas turun, Devin pun bersuara, "Turun sendiri atau mau aku bantu?"

Agnes bersiap menampar Devin, tapi dengan sigap Devin memegang pergelangan tangannya, menarik tubuh Agnes mendekat dan "Cup." sebuah kecupan mendarat sempurna dipipinya.

"Kutu kupret!" Dengan kesal Agnes keluar dari mobil, mengikuti langkah Devin masuk ke dalam rumah.

"Ma... Mama..." panggil Devin.

"Ada apa Sayang, kok teriak-teriak manggil Mama?"

"Kenalin Ma, ini Agnes."

"Agnes, Tante."

"Bawahanmu sudah menunggu di ruang kerja Vin, kamu temui mereka dulu biar Agnes sama Mama."

"Baik, Ma. Sayang, aku nyelesaiin kerjaan dulu, kamu sama Mama." seperti kerbau yang di cocok hidungnya, Agnes hanya bisa mengangguk tanpa bisa menolak. Karena bagaimanapun dalam kamus Agnes orang tua harus di hormati kecuali si Devin tentunya.

"Kita pindah ke ruang santai saja Nes, sambil nonton tv."

"Baik, Tante."

"Duduk, Nes!"

"Makasih, Tante." mama Devin memandangi Agnes dari atas hingga bawah, lalu ia tersenyum. Agnes yang di pandangi jadi risih. Agnes baru sadar, dirinya hanya memakai tank top hijau dengan bawahan hot pants yang super duper pendek.

"Maaf Tante kalau Agnes nggak sopan dandanannya. Tadi nggak sempat ganti baju, Devin sudah maksa Agnes untuk segera pergi."

"Nggak apa-apa, Nes. Tante nggak masalah. Kamukan masih muda. Tante senang setelah sekian lama hingga umur Devin 32 tahun akhirnya dia bawa perempuan ke rumah. Dan itu kamu."

"Masa sih, Tante?!"

"Iya, Tante nggak bohong. Tante kira Devin itu gay, andai Tante nggak mergoki dia nonton vidio porno yang wajar. Sekarang mah...tante nggak khawatir lagi."

"Gitu ya."

"Mau minum?"

"Kalau boleh, Tan."

"Tunggu bentar, Tante buatin dulu."



*****



Agnes membuka mata. Sambil mencoba bangun, ia mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk. "Di mana aku?" ucapnya lirih. Agnes menoleh ke arah pintu yang dibuka dan Devin keluar dengan menggunakan handuk yang tergantung rendah dipinggulnya. Mempertontonkan otot bisep dan dadanya yang six pack.

"Sayang, kamu sudah bangun?"

Agnes mengangguk, "Kenapa aku bisa ada di sini? Dan bisakah kamu memakai pakaian terlebih dulu?"

"Kamu tertidur di ruang santai saat sedang mengobrol dengan Mama. Lalu aku mengangkatmu dan menidurkanmu di kamarku." Devin perlahan menghampiri Agnes, “Mau ku antar pulang sekarang?”

Devin semakin mendekat hingga mencapai pinggiran ranjang, "Aku ingin ke kamar mandi dulu." ucap Agnes berusaha mengalihkan, ia lalu mencoba berdiri tapi sial kakinya tersangkut selimut sehingga terjatuh. Refleks Agnes mencari pegangan dan lebih naasnya yang ia raih adalah handuk Devin yang langsung lepas ketika di pegang.

"Huwaaa.... Mommy..." teriak Agnes dengan kencang sekali. Dengan muka merah Agnes berlari masuk ke dalam kamar mandi. Sedang Devin tertawa terbahak-bahak. Padahal di balik handuk itu Devin masih memakai boxer.

Di dalam kamar mandi Agnes membasuh mukanya berkali-kali dengan air dingin. "Daddy... Mommy... Agnes bisa gila menghadapi pedofil macam si Om-Om itu." dumelnya.

"Agnes... Cepat keluar!"

"Nggak mau sebelum kamu pakai baju."

"Sudah Yank... Cepat keluar!"

"Awas kalau bohong, aku tendang kehidupanmu!" refleks Devin yang ada di luar langsung menutupi bagian sensitifnya dengan tangan.

"Aku nggak bohong, cepat keluar, aku antar kamu pulang ke rumah, Nes."

Perlahan pintu terbuka, Agnes mengintip sedikit dari dalam. Menemukan Devin yang sudah berpakaian, Agnes pun keluar dari dalam kamar mandi. "Buruan!"

"Sini, pakai jaketku dulu. Di luar dingin." Devin memakaikan jaket jeansnya ke tubuh Agnes. "Cup." tak lupa ia mencuri kesempatan untuk mengecup pipinya.

"Mesum banget ih..." Agnes melenggang pergi, Devin menyusul lalu menggengam tangan Agnes. Awalnya Agnes nggak menolak tapi Devin memaksa. "Bilang dulu ke Mamamu."

"Nggak usah, Mama sudah pergi, mungkin belanja. Ini sudah jam delapan pagi, Nes."

Mobil Devin sudah sampai di halaman rumah Agnes,"Om bisa tidak mulai besok Om tidak mengganggu hidupku lagi?" ucap Agnes sebelum masuk ke kamarnya. Devin memaksa untuk mengantar Agnes hingga ke depan pintu kamarnya.

"Tidak bisa. Siap-siap besok malam minggu aku akan datang menjemputmu. Tidurlah sudah malam." sebelum pergi Devin mengecup kening Agnes lebih dulu.

Agnes hanya bisa menghembuskan nafas frustasi, dalam 3 hari kehidupannya telah berubah 360°.

*****

Tak terasa sudah 4 bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Devin. Agnes sudah terbiasa dengan sifat memaksa yang di miliki Devin. Begitu pula Devin, ia juga sudah terbiasa mendapat umpatan dari Agnes ketika menjahilinya. Devin malah senang.

Pernah suatu ketika Agnes ketiduran di kamar Devin saat menungguinya menyelesaikan laporan. Begitu bangun dan berkaca, Agnes mendapati alisnya sudah seperti Sinchan. Agnes marah-marah tapi Devin hanya menanggapi dengan santai.

"Vin, Mama mana?" tanya Agnes yang sudah sampai di rumah Devin. Mamanya Devin memang menyuruh Agnes untuk memanggilnya dengan sebutan Mama sejak 3 bulan yang lalu.

"Mama pergi sejak tadi sore."

"Kalau gitu ngapain aku ke rumahmu?"

"Aku mau di temani sama kamu saat kerja."

"Kutu kupret! Tahu gini aku ogah."

"Sayang... Lapar..."

"Iya nanti aku masakin."

"Nggak mau nanti, sekarang saja."

"Aduh Vin... Berhenti merengek, yang tua itu kamu atau aku sih!"

"Tapi aku berjiwa muda sayang." tiba-tiba Devin menggendong tubuh Agnes sehingga membuat Agnes menjerit pelan. Devin membawanya menuju ke dapur.

Devin membantu dengan mencuci beberapa sayuran. Sedang Agnes yang mengupas dan memotong. “Nes,” panggilnya.

“Ummm...”

“Setelah lulus, kita menikah. Aku sudah melamarmu, dan orang tuamu setuju.”

“What that's! You're crazy!”




End.